Kemiskinan bukanlah sepenuhnya sebuah nasib, sampai taraf tertentu kita bisa berusaha untuk mengubah kondisi ekonomi kita atau mereka ulang persepsi kita akan apa sesungguhnya ‘kaya’ itu. Di sisi lain, lahir dalam kemiskinan adalah takdir; kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang milyuner atau melarat.
Beberapa dari mereka yang kurang seberuntung kita (yang
cukup ‘makmur’ untuk bisa mengakses blog) harus tumbuh dalam lingkungan yang
tidak kondusif bagi perkembangan jiwa mereka. Apa saja sebenarnya kekurangan
psikologis dari lingkungan yang miskin itu, dan apa dampak negatifnya secara
spesifik bagi anak-anak kita?
Berbagai penelitian psikologi telah mengkonfirmasi bahwa
kondisi lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan anak pada ranah akademik dan
perilaku. Dalam studi meta-analisis yang dilakukan Leventhal dan Brooks-Gunn
(semua referensi dalam artikel ini bersumber dari Hart, Atkins, & Matsuba,
2008, kecuali disebutkan kemudian), indikator ekonomi merupakan prediktor
lingkungan yang paling akurat untuk memperkirakan keberhasilan perkembangan
anak.
Jika sebuah lingkungan kemudian dikatakan miskin secara
ekonomi, apa saja aspek-aspek dari lingkungan tersebut yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak? Beberapa penelitian menyebutkan antara lain tingginya
tingkat kriminalitas, kebisingan, dan kondisi perumahan yang kumuh. Selain itu,
lingkungan semacam ini juga pada umumnya memiliki kontrol sosial yang lemah dan
konsensus yang lebih longgar terhadap norma-norma yang berlaku.
Sekarang coba bayangkan anda tinggal di lingkungan yang
semacam itu. Satu hal yang sudah jelas akan anda alami, dan ini juga sudah
dibuktikan oleh berbagai penelitian, adalah tingkat stres yang lebih tinggi
pada semua orang. Pada orangtua, stres yang didapat dari lingkungan, ditambah
dengan tekanan pekerjaan atau urusan sehari-hari lainnya, akan membuahkan
depresi yang mengurangi kualitas dukungan emosional dan intelektual yang dapat
mereka berikan kepada anak-anak mereka di rumah.
Bagi anak-anak sendiri, stres dan kecemasan yang mereka
dapatkan dari lingkungan dapat lebih merusak dan bertahan lama dibanding orang
dewasa, bahkan setelah mereka tidak hidup dalam kemiskinan lagi. Diperkuat oleh
pengasuhan yang kurang dari orangtua dan kontrol yang lemah dari lingkungan,
stres ini dapat menggiring mereka pada berbagai masalah perilaku seperti
kenakalan (delinquent) dan perilaku
antisosial (beda dengan asosial lho ya…perilaku antisosial sudah
nyrempet-nyrempet kriminal).
Tak hanya perilaku mereka yang terpengaruh. Menurut
beberapa penelitian, dibandingkan dengan mereka yang tumbuh di lingkungan
menengah ke atas, anak-anak di lingkungan miskin lebih sulit menahan diri (delayed
gratification), resiliensi
(kemampuan menghadapi stres dan tantangan hidup) yang lebih rendah, lebih aktif
secara seksual, dan juga lebih tidak mengindahkan metode-metode pengaman yang
dapat mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual.
Melihat berbagai dampak yang dapat ditimbulkan dari
lingkungan miskin, saya rasa sudah tepat kalau beberapa program sosial bagi
kaum marginal lebih memfokuskan pada anak-anaknya, yaitu dengan memberikan
mereka sedikit lingkungan yang dapat mendukung perkembangan
intelektual dan emosional mereka, misalnya dalam bentuk sekolah alternatif atau
rumah singgah. Mungkin hal itu tidak dapat serta-merta membuat mereka tidak
miskin lagi secara ekonomi, tapi setidaknya memberikan mereka keahlian-keahlian
yang dibutuhkan untuk secara mandiri keluar dari lingkaran setan kemiskinan. (Gresik Gress)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar