• Breaking News

    Jumat, 19 Oktober 2012

    Kemiskinan Dan Perkembangan Anak-Anak Kita


    Kemiskinan bukanlah sepenuhnya sebuah nasib, sampai taraf tertentu kita bisa berusaha untuk mengubah kondisi ekonomi kita atau mereka ulang persepsi kita akan apa sesungguhnya ‘kaya’ itu. Di sisi lain, lahir dalam kemiskinan adalah takdir; kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang milyuner atau melarat.

    Beberapa dari mereka yang kurang seberuntung kita (yang cukup ‘makmur’ untuk bisa mengakses blog) harus tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan jiwa mereka. Apa saja sebenarnya kekurangan psikologis dari lingkungan yang miskin itu, dan apa dampak negatifnya secara spesifik bagi anak-anak kita?
    Berbagai penelitian psikologi telah mengkonfirmasi bahwa kondisi lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan anak pada ranah akademik dan perilaku. Dalam studi meta-analisis yang dilakukan Leventhal dan Brooks-Gunn (semua referensi dalam artikel ini bersumber dari Hart, Atkins, & Matsuba, 2008, kecuali disebutkan kemudian), indikator ekonomi merupakan prediktor lingkungan yang paling akurat untuk memperkirakan keberhasilan perkembangan anak.
    Jika sebuah lingkungan kemudian dikatakan miskin secara ekonomi, apa saja aspek-aspek dari lingkungan tersebut yang dapat mempengaruhi perkembangan anak? Beberapa penelitian menyebutkan antara lain tingginya tingkat kriminalitas, kebisingan, dan kondisi perumahan yang kumuh. Selain itu, lingkungan semacam ini juga pada umumnya memiliki kontrol sosial yang lemah dan konsensus yang lebih longgar terhadap norma-norma yang berlaku.
    Sekarang coba bayangkan anda tinggal di lingkungan yang semacam itu. Satu hal yang sudah jelas akan anda alami, dan ini juga sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian, adalah tingkat stres yang lebih tinggi pada semua orang. Pada orangtua, stres yang didapat dari lingkungan, ditambah dengan tekanan pekerjaan atau urusan sehari-hari lainnya, akan membuahkan depresi yang mengurangi kualitas dukungan emosional dan intelektual yang dapat mereka berikan kepada anak-anak mereka di rumah.
    Bagi anak-anak sendiri, stres dan kecemasan yang mereka dapatkan dari lingkungan dapat lebih merusak dan bertahan lama dibanding orang dewasa, bahkan setelah mereka tidak hidup dalam kemiskinan lagi. Diperkuat oleh pengasuhan yang kurang dari orangtua dan kontrol yang lemah dari lingkungan, stres ini dapat menggiring mereka pada berbagai masalah perilaku seperti kenakalan (delinquent) dan perilaku antisosial (beda dengan asosial lho ya…perilaku antisosial sudah nyrempet-nyrempet kriminal).
    Tak hanya perilaku mereka yang terpengaruh. Menurut beberapa penelitian, dibandingkan dengan mereka yang tumbuh di lingkungan menengah ke atas, anak-anak di lingkungan miskin lebih sulit menahan diri (delayed gratification), resiliensi (kemampuan menghadapi stres dan tantangan hidup) yang lebih rendah, lebih aktif secara seksual, dan juga lebih tidak mengindahkan metode-metode pengaman yang dapat mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual.

    Melihat berbagai dampak yang dapat ditimbulkan dari lingkungan miskin, saya rasa sudah tepat kalau beberapa program sosial bagi kaum marginal lebih memfokuskan pada anak-anaknya, yaitu dengan memberikan mereka sedikit lingkungan yang dapat mendukung perkembangan intelektual dan emosional mereka, misalnya dalam bentuk sekolah alternatif atau rumah singgah. Mungkin hal itu tidak dapat serta-merta membuat mereka tidak miskin lagi secara ekonomi, tapi setidaknya memberikan mereka keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk secara mandiri keluar dari lingkaran setan kemiskinan. (Gresik Gress)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Fashion

    Beauty

    Travel