Manusia
itu pendek dan berumur pendek. Kulit manusia tipis dan mudah ditepis.
Isi kepala manusia dangkal dan gampang disangkal. Manusia adalah hewan
rasional. Rasional berarti secara sepihak memilih standar sendiri untuk
memuja dirinya sendiri. Menuntut kasus sekaligus menghakimi sendiri. Di
Bumi, penghuninya hanya mahluk semacam ini. Mahluk yang lain bukan
penghuni, yang lain hanya ornamen meja, kursi atau kepala rusa di
dinding rumah.
Sebagai penghuni tersombong, mustahil manusia berbuat adil. Pembunuhan, penghilangan dan pengabaian atas hal lain menjadi asas keadilan. Keadilan adalah jika manusia menikmati penyembelihan daging hewan demi keyakinannya atas protein dan doktrin gizi. Adil adalah membasmi pertanahan gembur mengubahnya jadi pavingisasi dan aspalisasi. Adil dan sejahtera adalah menjejalkan produk-produk bermesin di setiap inci rumah sambil terus berdakwah tentang Tuhan. Adil adalah mengobrak-abrik nilai kebenaran hakiki, menundungnya dengan buku dan “pedang” suci.
Kebenaran hakiki itu nomenon. Dia tidak terjamah, misterius dan punya efek persis bayangan. Terus mendekati tapi tidak menempel. Membantu menjelaskan sesuatu tetapi bukan sesuatu itu sendiri. Kebenaran adalah kacamata hitam Rambo di siang hari. Kebenaran adalah operasi plastik hidung syahrini. Semua kebenaran pada dasarnya kalut, sekalut pelajar pemalas saat ujian faraidl yang diadakan mendadak.
Konyolnya, kekalutan ini dilukiskan besar di kain, kemudian dikibarkan menjadi bendera antar bangsa. Si konyol perkasa yang karena berkibar dalam waktu yang lama akhirnya menjadi bendera satu-satunya. Tidak ada bendera selain dia, tidak ada sekutu yang mengingatkannya. Kebenaran konyol yang akhirnya menjadi konyolnya beneran. Manusia, komunitas, masyarakat, negara dan perserikatan bangsa-bangsa adalah konvoi kekonyolan kebenaran.
Pelajaran dari Isi Kepala
Fungsi kepala pertama manusia adalah mengindera. Setelahnya baru mengingat, berpikir, menghubungkan, merekayasa dan menspekulasikan. Mata, hidung, telinga dan indera lainnya, semua ada di kepala. Organ kepala adalah simbol kepala bagi tubuh. Simbol kepala penting, karena bisa jadi sebenarnya yang terpenting bukan simbol. Kepala penting hanya karena masyarakat menganggap pengetahuan dan kesadaran adalah faktor yang terpenting bagi penciptaan. Jika masyarakat tidak lagi menganggap pengetahuan sebagai yang terpenting, maka bisa jadi simbol kepala akan disandang dada, lengan, kaki, atau kuku-kuku.
Pengetahuan adalah lembaga mengetahui sesuatu. Manusia mengetahui sesuatu pada dasarnya tidak berbeda dengan saat hewan mengetahui sesuatu. Bedanya adalah manusia punya mekanisme kesadaran sedangkan hewan tidak. Mengetahui dan berpikir adalah bakat yang sama-sama bisa dibagi antara manusia dan hewan-hewan. Namun untuk kesadaran, hanya manusia yang dapat karunia itu. Dengan demikian, modal utama manusia untuk menjadi yang terbaik adalah bukan mengetahui dan berpikir, akan tetapi menyadari.
Di banyak buku, kesadaran atau menyadari adalah jika seseorang sukses keluar dari tubuhnya sendiri dan seolah-olah melihat tubuhnya sendiri dalam spektrum dan lingkungan yang lengkap, diakronis-sintetis. Ia mampu melihat jalan hidup dan jalan tubuhnya dari luar. Menyadari adalah merangkum semua pemikiran tentang dirinya dari sejak pertama kali ia ingat sampai terakhir kali ia alami. Menyadari adalah mirip seperti kotak hitam di dalam pesawat udara.
Kebanyakan manusia menggunakan database kesadaran ini sebagai pijakan untuk melangkah atau untuk mengambil keputusan. Keputusan manusiawi adalah keputusan yang berkesadaran, sedangkan keputusan hewani adalah keputusan yang pendek dan tidak berspektrum. Makanya dimungkinkan ada hewan yang cerdas tetapi kecerdasannya tidak komperehensif. Tidak berspektrum. Dari sini kualitas kemanusiaan ditentukan oleh modulasi kesadarannya, apakah ia meningkat atau menurun. Jika meningkat, ia akan sampai pada level manusia super setingkat malaikat. Jika menurun, ia akan merumput setingkat kambing.
Fokus utama diskusi kita di sini adalah tentang kritik atas kesadaran yang diunggulkan itu sendiri. Apakah kesadaran manusia fair dalam menempatkan ia menjadi mahluk terbaik atau sama saja dengan mahluk lainnya. Apakah kesimpulan mahluk terbaik yang disandang manusia adalah konspirasi besar yang disengaja diciptakan dalam kumpulannya sendiri, yang buta alasan kenapa dan untuk apa ia dikonspirasikan.
Jika ditanyakan, sejak kapan manusia mulai mengingat sesuatu, maka kebanyakan akan menjawab sejak ia berusia 2 hingga 3 tahun. Sebelumnya ingatan dan pikiran manusia gelap. Di dalam rentang hidup manusia, ternyata ada wilayah gelap kerja pikiran di 1 hingga 2 tahun pertama. Demikian juga di penghujungnya, fenomena gelap pikir terjadi di usia senja. Hal itulah kenapa terjadi fenomena pikun, hilang ingatan, bebal dan seterusnya.
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masa-masa gelapnya pikiran tersebut dianggap tidak ada. Hampir semua orang menjawab, tidak demikian. Kegelapan ingatan dan pikiran bukan berarti pikiran manusia tidak terjadi. Mayoritas awam menjawab bahwa pikiran ada namun waktu itu ia tidak mampu menjalankan fungsi ingatannya secara semestinya. Malah sebagian menjawab, bahwa pikiran manusia sudah bekerja bahkan sebelum ia dilahirkan. Di dalam kepercayaan_terutama kepercayaan agama-agama, pikiran itu konstan. Tidak mengalami perkembangan.
Pikiran yang konstan hampir mirip dengan prinsip energi. Ada begitu saja, tidak berkembang, tidak dapat hancur dan hanya mengalami perubahan bentuk. Hal ini agak nyambung jika dikaitkan dengan keberadaan dan fungsi jiwa dalam tubuh. Jiwa itu kekal, ilahi dan konstan.
Pertanyaan berikutnya, ini yang lebih penting, jika pikiran itu konstan, mengapa manusia bersikeras untuk memihak pada pikiran yang ada pada fase “matang” saja. Fase matang adalah fase yang mana seseorang telah sampai pada ujian kesetaraan tertentu dalam jenjang akademik yang disepakati masyarakat. Mahasiswa dianggap tidak se-matang pengajar. Pengajar biasa dianggap tidak se-matang profesor.
Matang adalah terminologi perkembangan, dan jika matang itu relatif, maka matang juga seharusnya tidak bisa dijadikan ukuran. Profesor bisa jadi sama sekali tidak matang. Dosen dan pengajar bisa jadi lebih mentah dari mahasiswa. Atau pertanyaan sebaliknya, kenapa balita tidak bisa dianggap sebagai guru bagi guru-guru PAUD atau TK nya? Kenapa yang matang dan mapan harus dianggap lebih, padahal ia ada pada rentang relatifitas.
Relatifitas adalah saat semua hal bergerak dan tidak ada satupun yang berdiri dalam ketetapan. Matang dalam perspektif kedosenan atau keprofesoran adalah fase perkembangan. Ia tidak tetap dan mestinya tidak bisa dijadikan ukuran kebenaran. Sejalan dengan itu di dalam pengetahuan manusia yang lain, terjadi predikasi tingkat kematangan yang berbeda-beda. Ilmu eksakta dianggap lebih matang dari ilmu yang lain. Pengetahuan ilmiah dianggap lebih tetap dibanding pengetahuan awam.
Apakah benar demikian? Jelas tidak, sama sekali tidak. Eksakta dan ilmu adalah fase perkembangan. Ia ada dalam jalur proses dan tidak pasti ada di batas akhir pencarian. Jika ia memutuskan selama-lamanya untuk segala-galanya, maka ia adalah produk konstan. Jika mau demikian, eksakta harus mau berubah menjadi seperti agama yang berisi doktrin dan kepercayaan.
Terus, kenapa selama ini kita percaya hanya pada kebenaran yang sebetulnya selalu berubah. Apa yang kita genggam erat sekarang, itu hanya hasutan keprofesoran dan keeksaktaan. Padahal semua dari kita tahu, keduanya akan mengarah pada kepikunan dan akan diwafatkan oleh perkembangan berikutnya. [Helmi Umam]
Sebagai penghuni tersombong, mustahil manusia berbuat adil. Pembunuhan, penghilangan dan pengabaian atas hal lain menjadi asas keadilan. Keadilan adalah jika manusia menikmati penyembelihan daging hewan demi keyakinannya atas protein dan doktrin gizi. Adil adalah membasmi pertanahan gembur mengubahnya jadi pavingisasi dan aspalisasi. Adil dan sejahtera adalah menjejalkan produk-produk bermesin di setiap inci rumah sambil terus berdakwah tentang Tuhan. Adil adalah mengobrak-abrik nilai kebenaran hakiki, menundungnya dengan buku dan “pedang” suci.
Kebenaran hakiki itu nomenon. Dia tidak terjamah, misterius dan punya efek persis bayangan. Terus mendekati tapi tidak menempel. Membantu menjelaskan sesuatu tetapi bukan sesuatu itu sendiri. Kebenaran adalah kacamata hitam Rambo di siang hari. Kebenaran adalah operasi plastik hidung syahrini. Semua kebenaran pada dasarnya kalut, sekalut pelajar pemalas saat ujian faraidl yang diadakan mendadak.
Konyolnya, kekalutan ini dilukiskan besar di kain, kemudian dikibarkan menjadi bendera antar bangsa. Si konyol perkasa yang karena berkibar dalam waktu yang lama akhirnya menjadi bendera satu-satunya. Tidak ada bendera selain dia, tidak ada sekutu yang mengingatkannya. Kebenaran konyol yang akhirnya menjadi konyolnya beneran. Manusia, komunitas, masyarakat, negara dan perserikatan bangsa-bangsa adalah konvoi kekonyolan kebenaran.
Pelajaran dari Isi Kepala
Fungsi kepala pertama manusia adalah mengindera. Setelahnya baru mengingat, berpikir, menghubungkan, merekayasa dan menspekulasikan. Mata, hidung, telinga dan indera lainnya, semua ada di kepala. Organ kepala adalah simbol kepala bagi tubuh. Simbol kepala penting, karena bisa jadi sebenarnya yang terpenting bukan simbol. Kepala penting hanya karena masyarakat menganggap pengetahuan dan kesadaran adalah faktor yang terpenting bagi penciptaan. Jika masyarakat tidak lagi menganggap pengetahuan sebagai yang terpenting, maka bisa jadi simbol kepala akan disandang dada, lengan, kaki, atau kuku-kuku.
Pengetahuan adalah lembaga mengetahui sesuatu. Manusia mengetahui sesuatu pada dasarnya tidak berbeda dengan saat hewan mengetahui sesuatu. Bedanya adalah manusia punya mekanisme kesadaran sedangkan hewan tidak. Mengetahui dan berpikir adalah bakat yang sama-sama bisa dibagi antara manusia dan hewan-hewan. Namun untuk kesadaran, hanya manusia yang dapat karunia itu. Dengan demikian, modal utama manusia untuk menjadi yang terbaik adalah bukan mengetahui dan berpikir, akan tetapi menyadari.
Di banyak buku, kesadaran atau menyadari adalah jika seseorang sukses keluar dari tubuhnya sendiri dan seolah-olah melihat tubuhnya sendiri dalam spektrum dan lingkungan yang lengkap, diakronis-sintetis. Ia mampu melihat jalan hidup dan jalan tubuhnya dari luar. Menyadari adalah merangkum semua pemikiran tentang dirinya dari sejak pertama kali ia ingat sampai terakhir kali ia alami. Menyadari adalah mirip seperti kotak hitam di dalam pesawat udara.
Kebanyakan manusia menggunakan database kesadaran ini sebagai pijakan untuk melangkah atau untuk mengambil keputusan. Keputusan manusiawi adalah keputusan yang berkesadaran, sedangkan keputusan hewani adalah keputusan yang pendek dan tidak berspektrum. Makanya dimungkinkan ada hewan yang cerdas tetapi kecerdasannya tidak komperehensif. Tidak berspektrum. Dari sini kualitas kemanusiaan ditentukan oleh modulasi kesadarannya, apakah ia meningkat atau menurun. Jika meningkat, ia akan sampai pada level manusia super setingkat malaikat. Jika menurun, ia akan merumput setingkat kambing.
Fokus utama diskusi kita di sini adalah tentang kritik atas kesadaran yang diunggulkan itu sendiri. Apakah kesadaran manusia fair dalam menempatkan ia menjadi mahluk terbaik atau sama saja dengan mahluk lainnya. Apakah kesimpulan mahluk terbaik yang disandang manusia adalah konspirasi besar yang disengaja diciptakan dalam kumpulannya sendiri, yang buta alasan kenapa dan untuk apa ia dikonspirasikan.
Jika ditanyakan, sejak kapan manusia mulai mengingat sesuatu, maka kebanyakan akan menjawab sejak ia berusia 2 hingga 3 tahun. Sebelumnya ingatan dan pikiran manusia gelap. Di dalam rentang hidup manusia, ternyata ada wilayah gelap kerja pikiran di 1 hingga 2 tahun pertama. Demikian juga di penghujungnya, fenomena gelap pikir terjadi di usia senja. Hal itulah kenapa terjadi fenomena pikun, hilang ingatan, bebal dan seterusnya.
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masa-masa gelapnya pikiran tersebut dianggap tidak ada. Hampir semua orang menjawab, tidak demikian. Kegelapan ingatan dan pikiran bukan berarti pikiran manusia tidak terjadi. Mayoritas awam menjawab bahwa pikiran ada namun waktu itu ia tidak mampu menjalankan fungsi ingatannya secara semestinya. Malah sebagian menjawab, bahwa pikiran manusia sudah bekerja bahkan sebelum ia dilahirkan. Di dalam kepercayaan_terutama kepercayaan agama-agama, pikiran itu konstan. Tidak mengalami perkembangan.
Pikiran yang konstan hampir mirip dengan prinsip energi. Ada begitu saja, tidak berkembang, tidak dapat hancur dan hanya mengalami perubahan bentuk. Hal ini agak nyambung jika dikaitkan dengan keberadaan dan fungsi jiwa dalam tubuh. Jiwa itu kekal, ilahi dan konstan.
Pertanyaan berikutnya, ini yang lebih penting, jika pikiran itu konstan, mengapa manusia bersikeras untuk memihak pada pikiran yang ada pada fase “matang” saja. Fase matang adalah fase yang mana seseorang telah sampai pada ujian kesetaraan tertentu dalam jenjang akademik yang disepakati masyarakat. Mahasiswa dianggap tidak se-matang pengajar. Pengajar biasa dianggap tidak se-matang profesor.
Matang adalah terminologi perkembangan, dan jika matang itu relatif, maka matang juga seharusnya tidak bisa dijadikan ukuran. Profesor bisa jadi sama sekali tidak matang. Dosen dan pengajar bisa jadi lebih mentah dari mahasiswa. Atau pertanyaan sebaliknya, kenapa balita tidak bisa dianggap sebagai guru bagi guru-guru PAUD atau TK nya? Kenapa yang matang dan mapan harus dianggap lebih, padahal ia ada pada rentang relatifitas.
Relatifitas adalah saat semua hal bergerak dan tidak ada satupun yang berdiri dalam ketetapan. Matang dalam perspektif kedosenan atau keprofesoran adalah fase perkembangan. Ia tidak tetap dan mestinya tidak bisa dijadikan ukuran kebenaran. Sejalan dengan itu di dalam pengetahuan manusia yang lain, terjadi predikasi tingkat kematangan yang berbeda-beda. Ilmu eksakta dianggap lebih matang dari ilmu yang lain. Pengetahuan ilmiah dianggap lebih tetap dibanding pengetahuan awam.
Apakah benar demikian? Jelas tidak, sama sekali tidak. Eksakta dan ilmu adalah fase perkembangan. Ia ada dalam jalur proses dan tidak pasti ada di batas akhir pencarian. Jika ia memutuskan selama-lamanya untuk segala-galanya, maka ia adalah produk konstan. Jika mau demikian, eksakta harus mau berubah menjadi seperti agama yang berisi doktrin dan kepercayaan.
Terus, kenapa selama ini kita percaya hanya pada kebenaran yang sebetulnya selalu berubah. Apa yang kita genggam erat sekarang, itu hanya hasutan keprofesoran dan keeksaktaan. Padahal semua dari kita tahu, keduanya akan mengarah pada kepikunan dan akan diwafatkan oleh perkembangan berikutnya. [Helmi Umam]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar