Di Tiga Tempat ditengah tengah hutan Jati yang jauh dari akses keramaian, hingga kini tinggal komunitas atau Suku yang biasa dikenal dengan "Wong Sikep" atau Suku Samin, yang hidupnya masih berpegang teguh pada nilai-nilai budaya "ketimuran". Mereka seolah hidup terisolir dari dunia ramai, cara hidupnya berkelompok danmemiliki tingkat kekerabatan cukup tinggi. Yang menarik, Suku Samin memiliki nilai-nilai dan cara hidup sendiri.
secara Demografi, mereka tinggal di tiga tempat berbeda, mungkin untuk mengaburkan keberadaannya dari tangan-tangan kolonialis Belanda kala itu. Yaitu di Desa Klopo Duwur Kabupaten Blora, lalu di Dusun Njepang Desa Sugih
Waras Kabupaten Bojonegoro,dan di Dukuh Bombong Desa Baturejo Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Di tengah kebingungan bangsa Indonesia yang semakin melupakan identitas kebangsaannya, mungkin wong sikep atau Samin bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk menggali khasanah pemikiran dan kebudayaan lokal asli Indonesia.
Seorang Kepala Dusun di Klopoduwur, Blora, punya trik tersendiri untuk
menarik pajak bumi dan Bangunan (PBB) pada komunitas samin di daerahnya.
Ketika menagih pajak, kepala dusun tersebut sama sekali tidak menyebutkan soal pajak. Ia
bilang,"sedulur, aku ikut menggunakan uangmu ya,".orang samin itu tentu akan
memberinya uang yang nilainya sama dengan PBB yang harus dibayar. Begitulah orang Samin, mereka memiliki cara pandang yang terbalik dengan masyarakat pada umumnya,mereka memiliki nilai-nilai sendiri yang dianut dan dipegang teguh hingga kini. Kalau ditanya berapa anaknya,
pasti mereka akan menjawab,"Kaleh(dua,-red), lelaki dan perempuan,".
Jawaban standar tersebut dimaksudkan untuk menyembunyikan substansi pokok persoalan. Masyarakat umum seringkali menyebut sikap Nyeleneh mereka dengan istilah Nyamin.
Hinga kini, Budaya atau Tradisi Masyarakat samin tersebut masih tetap tegar, meski akulturasi budaya mulai merongrong dengan berkembangnya generasi baru mereka yang 'agak' lebih terbuka. Dulu, dan juga kini, komunitas samin yang bertebar di Kabupaten Blora, Pati, dan Bojonegoro lebih suka menjauh dari dunia luar, khususnya dari lembaga kuasa yang menggerayangi kehidupan desa. Merekalah sebenarnya kelompok pertama penentang kolonialis belanda dengan perlawanan 'halus' membelot pajak. Sebab, saat itu kolonialis Belanda menghujani masyarakat petani dengan berbagai macam pajak, dari pajak tanah, sampai pajak pohon kelapa hinga pajak palawija.
Saminisme boleh dikata anti kemapanan, mereka tidak bisa diperintah dan disuruh-suruh layaknya warga negara yang taat dan patuh. Sikap mereka tersebut bukan dalam artian anarkhisme Eropa Abad IX gaya Michail Bakunin yang menekankan Antithesis terhadap wewenang dan lembaga negara, melainkan sedikit mirip anarkhismenya Bakunin, Proudhon.
Kalau Karl Max berpostulat bahwa hak milik itu adalah sendi dasar kapitalisme, maka Proudhon berpendapat hak milik itu adalah "hasil curian" negara terhadap warga.
Saminisme pun beranggapan serupa. Meski tak punya filsuf atau pendekar, tapi pendirian mereka jelas. Mereka melawan pajak, mereka menganggap harta milik mereka adalah sepenuhnya milik mereka, tak boleh diusik orang atau lembaga di luar mereka. Nah"proudhonisme"nya para saminis inilah yang membuat mereka tegar, gigih tapi damai hinga sekarang yang memungkinkan mereka konsisten dalam perlawanan.
Dalam sebuah catatan disebutkan, ketika berceramah di pinggir hutan jati Desa Bapangan, Blora pada Februari 1889 silam, Ki Samin Sursentiko, tokoh dan pendiri Samin, menyerukan bahwa seluruh warga dibenarkan menebang pohon jati di hutan negara, sebab hutan tersebut tumbuh di tanah leluhur mereka. Gara-gara seruan tersebut, oleh Belanda Ki Samin Surosentiko dan delapan orang pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga meninggal.
Hinga kini, Budaya atau Tradisi Masyarakat samin tersebut masih tetap tegar, meski akulturasi budaya mulai merongrong dengan berkembangnya generasi baru mereka yang 'agak' lebih terbuka. Dulu, dan juga kini, komunitas samin yang bertebar di Kabupaten Blora, Pati, dan Bojonegoro lebih suka menjauh dari dunia luar, khususnya dari lembaga kuasa yang menggerayangi kehidupan desa. Merekalah sebenarnya kelompok pertama penentang kolonialis belanda dengan perlawanan 'halus' membelot pajak. Sebab, saat itu kolonialis Belanda menghujani masyarakat petani dengan berbagai macam pajak, dari pajak tanah, sampai pajak pohon kelapa hinga pajak palawija.
Saminisme boleh dikata anti kemapanan, mereka tidak bisa diperintah dan disuruh-suruh layaknya warga negara yang taat dan patuh. Sikap mereka tersebut bukan dalam artian anarkhisme Eropa Abad IX gaya Michail Bakunin yang menekankan Antithesis terhadap wewenang dan lembaga negara, melainkan sedikit mirip anarkhismenya Bakunin, Proudhon.
Kalau Karl Max berpostulat bahwa hak milik itu adalah sendi dasar kapitalisme, maka Proudhon berpendapat hak milik itu adalah "hasil curian" negara terhadap warga.
Saminisme pun beranggapan serupa. Meski tak punya filsuf atau pendekar, tapi pendirian mereka jelas. Mereka melawan pajak, mereka menganggap harta milik mereka adalah sepenuhnya milik mereka, tak boleh diusik orang atau lembaga di luar mereka. Nah"proudhonisme"nya para saminis inilah yang membuat mereka tegar, gigih tapi damai hinga sekarang yang memungkinkan mereka konsisten dalam perlawanan.
Dalam sebuah catatan disebutkan, ketika berceramah di pinggir hutan jati Desa Bapangan, Blora pada Februari 1889 silam, Ki Samin Sursentiko, tokoh dan pendiri Samin, menyerukan bahwa seluruh warga dibenarkan menebang pohon jati di hutan negara, sebab hutan tersebut tumbuh di tanah leluhur mereka. Gara-gara seruan tersebut, oleh Belanda Ki Samin Surosentiko dan delapan orang pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga meninggal.
Kaum Samin tetap bersikap masa bodoh atas sejumlah aturan pemerinah kala itu. Mereka menolak pungutan pajak dan tetap menebang kayu jati, meski secara sembunyi-sembunyi.
Perilaku Samin malah sempat merepotkan Bataafsche Petroleum Maatschappij, penguasa 227 sumur minyak di Bojonegoro dan Cepu pada kisaran 1920-an. Waktu itu, warga Samin tanpa permisi mengambil tumpahan minyak di sumur Bataafsche, Meski cuma untuk konsumsi dapur. Tentu saja ulah mereka dianggap menggangu. Namun demikian, perusahaan minyak Belanda tersebut tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan mereka terpaksa memberikan kompensasi kepada masyarakat setempat sebesar 240 gulden per tahun.
Toh, warga tetap saja mengambil ceceran minyak mentah itu.
Begitulah cara Saminisme melawan penjarahan kekayaan tanah leluhurnya. kaum samin tak ambil pusing dengan aturan pemerintah.
Persaudaraan, kesetiakawanan dan kemandirian para Saminis tersebut cukup kuat. 'keduwenanku yo keduwenanmu, begitulah sikap sosialis Samin, Mereka tak mau dibantu, disumbang dana pun tidak mau. Tapi kalau anda di tengah mereka, Anda Harus berjabat tangan dengan semuanya satu- per satu termasuk kepada anak-anak balita keluarga-keluarga Samin. ini menarik, sebab di Jawa pada umumnya anak kecil diremehkan dan tidak diperkenalkan kepada tamu.
Para Saminis tersebut insyaf sekali akan sosialitas. Kaum Saminis ini malah "lebih Dewasa" dan amat sadar tentang arti individualitas, Sosialitas dan kemanusiaan. mereka tidak suka menuding dan menuduh. mereka tak pernah mengklaim menyisihkan orang lain. Tentu kita perlu mengambil pelajaran dari Suku Samin, nilai kearifan lokal yang menjanjikan dan cukup relevan untuk menggali tradisi atau watak 'Ketimuran' Nusantara yang makin lama makin kehilangan identitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar