Setiap malam, kesabaran Siti Zubaidah,30 tahun, warga Perum Peganden Asri Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik benar-benar diuji. Hal
ini terjadi ketika dia mendampingi Maulidah Aulia, Putrinya yang masih duduk
di kelas I sekolah dasar, mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Zubaidah dengan tekun dan sabar berupaya memberi penjelasan,
namun, karena banyaknya mata pelajaran sekolah yang harus diterima Aulia putrinya, tetap saja pekerjaan tersebut terasa berat, khususnya dalam memberikan pemahan kepada putrinya, bocah tujuh tahun. Berat bagi sang ibu, juga berat bagi putri mungilnya.
Zubaidah menuturkan, selain materi pelajaran yang relatif sulit, faktor yang
menyebabkan hal itu adalah mata pelajaran Aulia di sekolah tergolong
banyak. Sedikitnya, Aulia mendapat 10 mata pelajaran, antara lain Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa
Inggris, Agama, Bahasa
Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan kesenian.
Setiap hari, Aulia menerima tiga
pelajaran. Belum lagi harus kerepotan karena mengerjakan dua buah PR
yang membuatnya gampang kelelahan tiap harinya.
Apa yang dialami Aulia dan ibundanya Zubaidah, adalah potret sistem pendidikan kita yang belum terfokus dan terlalu bias. Sebab, dengan banyaknya mata pelajaran di sekolah, tentu tidak semuanya dapat terserap dengan baik dan maksimal.
Jika demikian, maka jangan heran jika para pelajar kita cenderung memahami setengah-setengah saja setiap mata pelajaran yang ada. Yang ironis, banyaknya mata pelajaran di sekolah tersebut seringkali membuat siswa cenderung malas belajar, dan itu adalah bentuk penolakan bersekolah atau school
refusal.
Menurut Syailendra W.S., penolakan ini terjadi lantaran beban
pelajaran yang terlalu banyak. Psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina tersebut mengatakan,
kurikulum sekolah yang diterima siswa-siswa SD saat ini dinilai melebihi
kewajaran usia mereka. Ketika mendaftar masuk SD, anak-anak dites
kemampuan membaca, menulis, dan menghitung.
Akibatnya, sejak taman kanak-kanak, anak-anak kita seakan
dipaksa mempunyai kemampuan menghitung dan membaca. Padahal, kemampuan
ini seharusnya baru diberikan saat anak duduk di kelas I SD.
Setelah
duduk di bangku SD, beban anak menjadi lebih berat lagi, yang sebenarnya belum
sesuai dengan kapasitas kognitif dan psikologis mereka.
“Di situlah
anak-anak bisa frustrasi. Sekolah dianggap sebagai beban dan sesuatu
yang tidak menyenangkan,” kata Syailendra.
Kondisi ini diperparah bila orang tua memaksakan anak ikut beragam kursus. Kesempatan anak untuk bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan kreativitasnya semakin berkurang.
Kondisi ini diperparah bila orang tua memaksakan anak ikut beragam kursus. Kesempatan anak untuk bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan kreativitasnya semakin berkurang.
Syailendra pernah menangani anak
kelas V SD yang mengalami situasi ini. Dari pagi hingga siang, anak
tersebut melakukan aktivitas di sekolah. Sorenya, anak itu masih lanjut
bergelut dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.
Suatu hari, si anak tersebut sakit dan ketika sembuh dia tak mau lagi bersekolah. Dengan segala cara, mulai dibujuk habis-habisan, si anak tetap menolak, enggan ke sekolah.
Suatu hari, si anak tersebut sakit dan ketika sembuh dia tak mau lagi bersekolah. Dengan segala cara, mulai dibujuk habis-habisan, si anak tetap menolak, enggan ke sekolah.
“Setelah diajak bicara, ternyata si
anak merasa kewalahan dengan pelajaran di sekolah. Solusinya adalah
home-schooling, Sekarang dia sudah kuliah di fakultas kedokteran,”
Syailendra menuturkan.
Syailendra yakin banyak anak-anak sekolah yang sebenarnya mengalami
masalah dengan beban pelajaran sekolah. Berdasarkan pengalamannya
menangani pasien, jumlah anak yang mengalami hal itu sekitar 20 persen
dan fenomena ini seperti gunung es.
“Angka sebenarnya bisa lebih
banyak,” katanya.
Perwujudan masalah itu bukan cuma penolakan ke
sekolah, tapi juga bisa berbentuk lain seperti depresi, sensitif,
gampang marah, bengal, memberontak, menghabiskan waktu dengan bermain
game, minder, dan anak-anak mengambil perilaku berisiko tinggi.
Kurikulum yang begitu berat dan tidak tepat yang dibebankan ke siswa merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan yang terjadi tidak menyentuh pembentukan mental, karakter, dan pengembangan kreativitas siswa. Yang dipacu hanya otak kiri, sementara otak kanan terabaikan.
Kurikulum yang begitu berat dan tidak tepat yang dibebankan ke siswa merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan yang terjadi tidak menyentuh pembentukan mental, karakter, dan pengembangan kreativitas siswa. Yang dipacu hanya otak kiri, sementara otak kanan terabaikan.
“Kalaupun
kemudian hari anak jadi pintar, dia cuma pintar buat dirinya sendiri,
sama sekali tidak bermanfaat bahkan merugikan masyarakat,” kata
Syailendra.
Di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua, kata Syailendra, adalah figur terdekat bagi anak yang mestinya menanamkan nilai-nilai kehidupan sedari dini. Selain itu, orang tua perlu bijaksana dalam memberikan pendidikan kepada anak. Jangan paksa anak ikut bermacam-macam kursus yang bukan minatnya.
Peran guru juga tidak kalah penting. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. “Guru harus menjadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak,” ujar Syailendra.
Di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua, kata Syailendra, adalah figur terdekat bagi anak yang mestinya menanamkan nilai-nilai kehidupan sedari dini. Selain itu, orang tua perlu bijaksana dalam memberikan pendidikan kepada anak. Jangan paksa anak ikut bermacam-macam kursus yang bukan minatnya.
Peran guru juga tidak kalah penting. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. “Guru harus menjadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak,” ujar Syailendra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar